Topik tentang cara mendidik anak merupakan topik yang luas. Jika anda mencoba membaca pendapat para ahli, ada banyak sudut pandang tentang cara mendidik anak yang baik. Pilihan materinya pun sangat beragam. Ada yang membahas tentang cara mendidik anak dari sisi kecerdasan berpikir, ada pula yang menyoroti masalah budi pekerti.
Biarlah itu menjadi pembahasan para pakar. Saya hanya akan mengambil satu topik kecil, yaitu tentang cara menghukum anak pada saat melakukan kesalahan. Rekan saya mas Fadly Muin pernah juga menulis tentang ini dengan judul Haruskah Marah Dan Menghukum Anak. Ya, sebagaimana kita memberi hadiah pada saat anak menciptakan prestasi, kita pun seyogyanya memberi hukuman padanya saat melakukan kesalahan. Tujuannya agar anak tahu bahwa yang dilakukan tidak baik dan tidak benar.
Meski kebanyakan sepakat tentang itu, cara melakukannya bisa menjadi sangat beragam. Masing-masing punya teorinya sendiri, masing-masing memiliki cara yang dianggapnya paling benar. Tiap orang bisa berbeda pendapat dalam prakteknya. Tidak terkecuali saya dan istri saya.
Antara kami berdua memiliki perbedaan tentang main tangan terhadap anak. Istilah main tangan disini saya maksudkan sebagai memukul bagian dari tubuh anak. Bisa saja keras, bisa juga tidak. Bisa menggunakan alat, bisa juga langsung dengan tangan kita.
Sewaktu istri saya mengatakan bahwa terhadap anak jangan sampai main tangan, cukup sampai sebatas suara keras (marah) saja, saya tidak membantahnya. Anak pertama kami perempuan, dan saya setuju banget untuk tidak sampai memukulnya dalam mendidik. Sikap istri saya ini didasari pengalaman dari orang tuanya yang tidak pernah memukul atau mencubit sewaktu mendidiknya dulu, termasuk kepada adik-adiknya yang lelaki. Dan ini sudah menjadi sakral bagi istri saya untuk diikuti saat mendidik anak-anak kami, tanpa perlu dipertanyakan lagi.
Kalau secara prakteknya saya setuju,( sampai sekarang saya belum pernah ’main tangan’ terhadap anak), secara teori saya sebenarnya kurang setuju. Apalagi dua anak kami berikutnya adalah laki-laki dan sudah mulai menginjak remaja. Suatu saat sepertinya saya tidak akan tabu untuk ’main tangan’ bila memang dibutuhkan. Tentu saja ini jauh dari yang disebut kekerasan, karena dilakukan dalam batas kendali untuk pendidikan.
Pemikiran saya ini dilandasi kembali kepada konsep ketangguhan diri. Di luaran dan dalam perjalanan hidupnya kelak saya sudah pasti tidak akan mampu membatasi sikap orang terhadap anak-anak saya. Lingkungan macam apa saja yang akan dijumpainya kelak juga diluar kendali saya tentunya. Apa jadinya jika mental mereka sedemikian rapuh menghadapi kekasaran hanya karena belum pernah menghadapi ”perlakuan kasar” sebelumnya ?
Saya pernah mengikuti program pembinaan mental selama 2 bulan di suatu lembaga sekolah militer sebagai program resmi perusahaan saya. Beberapa sikap kasar (tapi tentunya terkendali) sering diperlihatkan pembina, apakah itu suara bentakan, tendangan ringan di sepatu bila posisi kaki salah, hukuman fisik semacam push up, merayap di tanah, dan sebagainya.
Salah seorang kawan saya satu peleton, sebut saja Hilmi, mendapat giliran menjadi komandan peleton. Tampil melapor saja sudah membuat dia gemetar, apalagi saat laporannya salah dan mendapat bentakan keras, tambah keringat dingin dia. Saat pembina berpangkat sersan menendang ringan sepatunya karena sikap berdirinya yang kurang benar, tak ayal dia limbung dan semaput. Pada kesempatan istirahat di malam harinya, saya berkesempatan ngobrol dengannya. Kebetulan selama ini dia memang sering curhat pada saya. Tampak sekali bahwa dia kesal dengan kelemahannya. Dia sadar bahwa semua ini hanya latihan, tapi dia selama ini belum pernah sama sekali diperlakukan ’kasar’ secara fisik, bahkan dibentak sekalipun. Kejadian-kejadian di program pembinaan ini benar-benar membuatnya shock.
Banyak contoh lain yang bisa diuraikan tentang kemungkinan perlakuan ’kasar’ yang diterima anak-anak kita, baik yang terprogram maupun tidak. Kita tidak punya kemampuan untuk mengendalikan apa yang akan dan bisa menimpa anak kita. Tapi ada hal yang bisa kita perbuat. Kita bisa memperkuat kemampuan respons anak kita terhadap apa yang menimpanya. Permasalahannya bukan pada ketangguhan fisik menerimanya, karena secara fisik kadang ringan saja, tapi lebih kepada ketangguhan mental. Alasan inilah yang saya sampaikan kepada istri saya.
Saya tidak tahu apakah istri saya bisa menerima hal tersebut, karena ia hanya diam. Tapi paling tidak, jika suatu saat saya bersikap ’main tangan’ kepada anak-anak, ia tahu alasannya.
Nah, sobat pembaca, bagaimana pendapat anda tentang ini ?
ibarat hasil pendidik itu sebuah buku kalau coretannya bagus hasilnya sesuai hsil tulisannya , kalau asal2an ya nikmati hasilnya.
disini saya lihat perlunya keseimbangan pak.
saya rasa seorang anak terdiidik perlu “pemahaman dan penerimaan”. terhadap apa yang dilakukannya. hukuman atau respon orang tua, cukup sebagai dasarnya.
tugas kita orang tua, mempertebal pengetahuannya tentang “kenapa dan bagaimana”
kenapa dia salah dan bagaimana idealnya dia berbuat. kenapa dia benar dan bagaimana idealnya dia berbahagia. dan seterusnya..
Walaupun mendidik dengan cara ‘main tangan’ dipandang buruk oleh sebagian orang, namun dalam kondisi tertentu, cara ini kadang dibutuhkan juga.
Sesutau yang dilandasi tujuan baik, dan dijalankan dengan cara yang baik, insya Allah hasilnya baik.
hemmmmmmm yang belom punya anak belom bisa memberikan pendapat pak…. hanya laporan saja…kalau saya sudah membaca artikel bapak. dan saya setuju dengan tindakan bapak.
karena mental saya lebih kuat dibandingkan adik-adik saya, yang ketika kecilnya tidak pernah dimarahi oleh bapak saya.
mental adik saya lemah.
Terima kasih atas informasi dan pengetahuannya, saya seperti khalid abdullah.
Salam kenal 🙂
saya pikir ada perbedaan antara menghukum dan memberi pelajaran
saya sebenarnya tidak suka ‘main tangan’ dalam mendidik anak. hanya saja suka kebablasan kalau seandainya badan lagi kelelahan, sementara anak bertingkah tanpa kendali. khilaf euuy. 🙂
menurut saya,
memperkenalkan dunia luar bukan berarti harus mempraktekannya secara langsung di dalam keluarga. biarlah mereka tahu gejolak perasaan hati melalui pergaulan dunia luar.
Yang perlu dijaga mungkin adalah kedekatan kita terhadap anak-anak, agar segala sesuatu yang terjadi diluar, si anak tidak segan-segan menceritakannya kepada orang tua, sehingga orang tua bisa meng-counter-nya dengan memberikan bimbingan bagaimana seharusnya bersikap.
aduh….. takut menggurui nih. aku berumah tangga aja baru 3,5 tahun 🙂 ….. mohon petunjuknya mas…
mantap….
salam kenal boz…
Joe (pengndutnews.wordpress.com)
wah bagus bgt artikelnya mas. sy sbg ibu jg kykny agak pro ke istri saudara. hehehehe…. mendidik bukan brarti main tangan,stuju itu. anak2 yg dr kecil tdk pernah dimarahi, klo suatu saat dpt perlakuan keras sedikit saja pasti akan kaget. demikian jg anak yg dr kecil sdh biasa dimarahi bahkan dipukul, pasti dg bertambh umurnya, hrs bertmbh pula reward ats kesalahannya(tmbah keras hardikan ato pukulannya). mnrt sy sih dismpng mendidik dg kasih sayang, disiplin, reward atas kesalahan ato kebaikan yg anak perbuat sangat perlu. tp tdk berarti dg main tangan. kemandirian, rasa percaya diri yg kita tanamkan insy Allah menjadikan anak “tahan banting”. hehehe… maaf, bukan menggurui jg,cm sharing aj. sy jg msh belajar utk jd ortu yg baik 😀
maaf klo ada salah kata. mohon amplop.eheehhehe…
Ya, ibarat main layang-layang,..kadanng-kadang ditarik, kadang diulur, kadang kita yang ikut lari-lari,….yang penting jangan ditarik terus nanti malah putus, diulur terus nanti jatuh,..salam dari pekalongan
balik lagi nulis di sini oom? pantes gak pernah update euy
wah, ini mo dikasi ke guru ato ortu saya aja deehh xD