Memandangi foto hasil jepretan anak sulung saya di samping, citarasa artistik saya terpicu. Bagi saya kombinasi warna yang tampil disana sedemikian indah. Dominasi warna hijau diselingi coklat melatarbelakangi obyek merah mirip stroberi sebagai centre of interestnya. Dan semuanya dilandasi warna abu-abu yang dikaburkan sehingga terlihat soft dan menyatu dengan warna-warna di atasnya.
Kalimat-kalimat di atas adalah hal-hal yang muncul dari dalam diri saya akibat mendapatkan rangsang dari obyek yang saya lihat. Apakah obyektifnya memang seindah itu atau tidak saya tidak berani memastikan. Bagi saya memang indah. Jadi merupakan pendapat yang amat subyektif dari diri saya. Mengapa demikian ?
Coba saja sodorkan gambar ini ke petani padi. Kemungkinan besar yang muncul adalah wajah jengkel campur gemas, bahkan mungkin agak meradang. Mengapa ? Karena yang berwarna merah itu adalah telur keong mas, hama perusak tanaman padi. Bayangkan petani melihat telur hama tersebut menempel di tanaman padi ?
Mungkin saja tampilan di foto itu memang betul-betul indah. Tapi apa yang diketahui, disaksikan dan dialami petani tersebut jauh sekali dari hal-hal yang berbau indah. Yang ada adalah kenyataan panen gagal, kerugian, dan bayangan kesulitan yang akan dialami keluarganya. Pemandangan telur keong mas menempel di tanaman padi bisa saja sudah meninggalkan kesan traumatis pada dirinya.
Kalau begitu, bagaimana mungkin fakta yang sama bisa menimbulkan kesan berbeda ? Sangat mungkin. Tergantung siapa yang menjadi subyeknya. Makanya disebut pendapat subyektif.
Pendapat orang di seputar masalah seni biasanya bersifat subyektif. Ada yang demikian terpesona melihat lukisan sang maestro Affandi, tapi ada juga yang bingung dan menganggapnya enggak genah. Ada yang mendengar lagu seriosa demikian terhanyut, tapi ada juga yang menganggapnya kayak orang gila (tapi kalau yang nyanyi Putri Ayu kayaknya emang bagus deh…).
Nah, jika pendapat yang bersifat subyektif dalam bidang seni sudah lumrah dan tidak dianggap negatif, lain halnya jika orang menilai suatu kasus hukum misalnya. Orang berharap penilaian yang dilakukan bersifat obyektif sesuai faktanya. Pendapat yang subyektif bisa dianggap ada apa-apa atau ada maunya. Nah loe !
Berpikir obyektif relatif lebih sulit, tidak semudah berpikir subyektif. Meski kita sadar harus berbicara fakta tapi kadang tanpa sadar opini pribadi ikut bermain di dalamnya. Faktor subyektifitas seringkali tidak bisa dihilangkan sama sekali. Ya nggak pren ?!
Saya pernah punya pengalaman menangani suatu kasus pelanggaran karyawan. Di luaran sudah ramai opini berkembang yang nadanya miring mengenai karyawan tersebut. Kalau mau jujur, saya pun setuju dengan pendapat umum tersebut. Ini tantangan buat saya. Saya mati-matian berusaha tidak terpengaruh dan mencoba menanganinya seobyektif mungkin.
Alhamdulillah, meskipun karyawan tersebut tetap diputuskan bersalah, namun yang bersangkutan mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada saya. Lho kok gitu ? Ya, karena dia merasakan selama pemeriksaan saya dianggapnya telah bersikap obyektif tidak dipengaruhi pendapat di luaran.
Mengapa berpikir dan bersikap obyektif itu sulit ? Karena yang melakukannya manusia. Punya hati, punya rasa. Coba saja anda edarkan pandangan ke sekeliling. Lihat orang-orang yang anda kenal di sekitar anda. Pastilah anda punya opini tertentu terhadap setiap orang-orang tersebut.
Bila anda menerima berita tentang salah seorang dari mereka, tak ayal lagi opini awal tadi pasti ikut mempengaruhi. Meski anda sendiri belum tahu persis kejadiannya, bisa saja dalam hati anda berkata : β Oo, enggak heran kalau dia begitu. Kalau melihat kesehariannya, saya hampir yakin memang begitu kejadiannya !β
Bayangkan ! Amat sulit bagi kita berpikir seperti lembaran putih bersih saat menilai seseorang. Padahal itu amat diperlukan saat menilai suatu kejadian, jika memang ingin obyektif dan sesuai kenyataannya.
Itulah sedikit tentang subyektif dan obyektif. Bagaimana menurut anda ?
Pernah punya pengalaman terkait hal tersebut ?
objektif itu omong kosong. bahkan pertanyaan, narasumber, gaya bertanya, semuanya adalah pilihan kita sendiri. karena itu pasti subjektif.
yg sebaiknya dipilih adalah independen. bekerja atas pilihan sendiri, bukan karena pengaruh orang lain.
omong kosong 100% jelas tidak, tapi saya setuju bahwa amat sulit untuk betul2 obyektif.
Hal yg sama berlaku untuk independen. Pengaruh orang lain tak bisa dihindari selama kita tetap berinteraksi dengan sesama.
Makasih mas sudah berkomentar.
selama manusia ego penilaian subyektif sulit untuk dihindarkan, dan itu sangat manusiawi
setuju mas, namun pada kasus yg menghendaki kita bersikap obyektif, jangan sampai alasan manusiawi menghalangi kita untuk berupaya
Kalo bicara seni.. lia kebanyakan subyektif pak.. abis sering gak ngertinya π
namun kalo itu berkaitan dengan tanggung jawab.. kita harus benar2 berpikiran objektif.. tidak terburu2… walaupun itu tidak mudah…
lia pernah punya pengalaman yang sama apalagi mengenai karyawan :(.. terima kasih atas artikelnya pak.. menambah masukan buat lia pribadi….
oo… kalo nggak ngerti itu jadinya subyektif ya ? betul juga seh jadi nggak akan ada yg menyalahkan hehe….
subyektifitas dalam menyorot obyek tertentu, akan sangat dipengaruhi oleh kekuatan emosional. saya rasa ini sudah ketentuan alamiah.
saat kita melihat sesuatu, kita tidak akan tiba-tiba menganalisa dari segi estetika, keindahan dan sebagainaya. tapi kita akan merespon dengan refleksi emosional kita. disinilah letak subyektifitasnya pak menurut saya.
dan analisa estetika kadar emosinya memang tinggi sekali mas, makanya bersifat subyektif. Namun seiring meningkatnya pemahaman, kemampuan berpikir obyektif biasanya ikut mengiringi.
Subyektivitas dalam menulai sesuatu pada dasarnya merupakan hal manusiawi. Namun, ketika dihadapkan dengan manusia lain atau hal lain yang nantinya ada efek tertentu dari penilaian kita yang bisa menguntungkan atau merugikan pihak yang menjadi “obyek”, maka disini selayaknya diterapkan konsep “tabayun”– cek dan recek– penilaian sebaiknya lebih onprehensip, tidak bertolak dari satu sudut pandang dan atu landasan saja.
Eta pamendak sim kuring Kang π
Perkawis gambar di luhur:
1. Pertama kali meliatnya, yang terlintas di otak saya itu adalah bunga/buah sutatu jenis tanaman. Ternyata setelah dipandangi lebih teliti itu telor keong mas π
2. Menurut saya warna tersebut bukan merah Pak, tapi “kayas (istilah Sunda)”, atau “Pink” kali kalo Indonesianya ya? π
satuju Kang
Parkawis gambar, kadang saya enggak suka pake istilah yg nanggung seperti merah muda, merah tua, agak merah, dan sejenisnya.
Pokoknya merah we…… hehe
waw ! bahasnya sich….. bisa-bisa aja dah !
gak pernah kepikiran buat bahas kayakgini.
menarik sekali mas !
emmmmmmmmm, objketif ya ??
kadang juga kau yang dipandang atau dalam kasus di atas, misalnya yang diselidiki adalah teman sendiri, biasanya jadi agak subjektif tuch…muali-mulai deh tuch……
hanya menyimak dan meresapi…belum bisa berkomentar lebih mas.
bener banget, kalo udah nyentuh kawan amat susah buat obyektif.
Kalo menghadapi kasus begini, biasanya saya dekati kawan tsb dan saya katakan :”ente tahu, betapa beratnya buat ane bersikap obyektif karena ente kawan ane. Tapi justru disitu tantangannya. Coba kita lihat yuk, bagaimana ane mengatasi tantangan ini. Bantu ane untuk bisa tetap obyektif ya…”
Terkadang Obyektifitas dalam suatu hal tergantung dari persepsi masing2 juga ya kang, adakalanya faktor like n dislike ikut berperan dalam menilai sesuatu
betul sekali, banyak orang bilang udah obyektif padahal masih sangat subyektif. Untuk mengatasinya biasanya saya berupaya tidak banyak beropini, tapi lebih banyak menelaah fakta dan data, lalu minta juga opini dari orang lain buat perbandingan.
kebanyakan dalam hal tindakan dan mengambil keputusan kita masih subyektif….jarang bgt yg obyektif,,,,
perlu latihan dan jam terbang
tapi yg penting banget adalah kesadaran dan niat untuk mencoba obyektif
yg paling mudah membedakan obyektif dan subyektif itu adalah dgn cara bertukar peran…kl hasilnya sama, ada kecenderungan itu obyektif. …
salah satu cara yg bagus dan kreatif, meski tidak selalu bisa diterapkan
subjektif atau objektif itu tergantung mata yang memandang dan tergantuk bagaimana kita mempersepsikan sesuatu, bukan begitu mas? btw, nice post mas π
kalau obyektif beneran seharusnya tidak demikian. Orang tidak benar bila mengatakan warna telur keong itu biru misalnya.
Tapi saya setuju bahwa persepsi amat dominan mendorong ke arah subyektifitas, bahkan data dan fakta bisa dipersepsi semau gue
Bener pak,, penilaian yang muncul dari diri kita pribadi pasti lebih banyak nilai subjektifnya.. Apalagi bila itu keadaan negatif, pasti dipastikan rasa kasihan dan iba akan masuk didalamnya… Empati dan simpati malah sering naik di masalah ini…
itu tantangan beratnya mas Andre, khususnya dalam menangani people
[…] orang memiliki konsepnya sendiri tentang menulis, seperti juga setiap pembaca mempunyai pendapat masing-masing tentang tulisan yang bagus. Ada yang senang tulisan to the point, ada juga yang suka […]