Kita sudah sering mendengar pepatah “ Mulutmu Harimaumu”. Artinya kurang lebih bahwa segala perkataan yang terlanjur kita keluarkan apabila tidak difikirkan dahulu akan dapat merugikan diri sendiri. Itu baru bagi diri sendiri, bagaimana bila justru ke orang lain ?
Seringkali dengan bersandar kepada kebebasan berbicara, kita kurang hati-hati dalam menyampaikan suatu perkataan. Padahal perkataan kita tersebut bisa saja memiliki pengaruh besar ke orang yang mendengarnya. Bila pengaruhnya positif memang itu yang diharapkan, bagaimana bila justru negatif dan bersifat merusak ?
Nilai perkataan seseorang sangat melekat kepada nilai individu yang mengucapkannya. Perkataan atau informasi salah yang disampaikan seorang penjahat atau seseorang yang “bukan siapa-siapa” relatif tidak berbahaya. Mengapa ? Karena jarang orang memperhatikan, apalagi mempercayainya.
Menjadi lain bila yang mengucapkan adalah orang terpandang, berpendidikan, alim ulama, pejabat penting, atau siapa pun yang memiliki “brand” bagus di bidangnya. Kata-katanya akan cenderung dianggap benar, beberapa yang berkepentingan akan menggunakannya sebagai acuan, dan banyak orang akan mempercayainya begitu saja.
Bagaimana bila perkataan “orang terpandang” ini salah, atau sebenarnya diucapkan hanya untuk main-main namun dipersepsi serius ? Yang pasti akan berakibat buruk.
Pertama, kredibilitas orang yang mengucapkan akan turun. Minimal orang akan mulai meragukan kualitasnya. Tapi ini masih tergolong wajar, anggap saja sebagai hukuman atas keteledorannya. Yang berat adalah efek yangkedua berikut.
Kedua, orang yang mendengar dan mempercayainya bisa bersikap salah atau bahkan mengambil keputusan yang salah dalam bertindak. Anda bisa bayangkan efeknya ! Ternyata sang “harimau” juga menerkam orang lain.
Hal ini pernah terjadi dan saya saksikan di lingkungan kerja saat saya masih aktif sebagai karyawan. Seorang rekan yang kebetulan memiliki posisi lumayan, berpendidikan tinggi, mengucapkan sesuatu yang tergolong peka di depan banyak karyawan lain. Tergolong peka karena menyangkut karir dan kesejahteraan karyawan, dan mendorong orang melakukan tindak lanjut tertentu.
Beberapa rekannya selevel memahami bahwa itu hanya omong kosong, tetapi banyak karyawan lainnya yang memang terbatas pengetahuan dan pemahamannya menelan bulat-bulat perkataan tadi tanpa bertanya. Lho, yang bicara itu bukan karyawan sembarangan je !
Kasus tersebut lumayan menimbulkan keresahan, beberapa diantaranya hampir saja salah mengambil keputusan. Untung saja hal ini segera tercium pihak yang berwenang dan segera melakukan langkah klarifikasi. Fuihhhh…, hampir saja !
Hikmah yang dapat saya ambil dari kasus tersebut adalah bahwa bukan hanya isi perkataan, tapi status orang yang mengatakannya juga amat penting terhadap nilai suatu perkataan. Bila anda suatu saat ingin menggunakan kebebasan berbicara, ingin ngomong santai seenaknya sambil bercanda, sebaiknya anda sadari juga posisi anda dan siapa saja audiensnya.
Hati-hati, sang “harimau” menerkam kesana-kemari !
lama g pertamax disini 😀
alhamdulillah mas Ahmad masih mau pertamax
kalo di blog sendiri boleh ngomong sembarangan gak mas?
boleh aja sih, cuma kasihan sama pembacanya
lha wong mereka amat percaya sama mas, kalo dikasih yg sembarangan kan bisa salah langkah
kalo begitu saya coba gak ngomong sembarangan 😉
thx mas
Kalo Koment sembarangan Boleh Gak mas??? wakwkwkwkkwkk…:)
khusus di blog saya boleh, spesial buat Kang Rafi jumlahnya nggak dibatasi hehe…..
Kalo Koment sembarangan jg gak boleh ya Mas Her?
komen repost juga gak papa…
sori ya si aki lagi kumat keknya neh…..
iya pak.. bener sekali kalau status juga penting terhadap nilai perkataan. Persis seperti yang dialami oleh salah seorang pejabat di tempat saya sekarang, karena kepleset ngomong di suatu pengajian, dia didemo sama jama’ah saat itu juga… kasian juga padahal bentar lagi ada pilihan dan dia mencalonkan diri..
wah…bakal sibuk berat tuh tim suksesnya….
menjaga sikap, mengontrol diri dan menciptakan suasana hangat, bisa dengan kata-kata yang tepat. kalimat2 yang sejuk, rilex dan meynangkan.
jika kita sudah keluar dari kondisi seperti itu. kemungkinannya karena kita memang memiliki arogansi yang menonjol atau sedang dalam penguasaan emosi yang tak terkontrol.
*pepatah lama tapi masih berlaku sepanjang masa.. “Harimau mulutmu, eh salah, ucapanmu harimaumu..”
kalau menerkam diri sendiri, itu resiko mas
masalahnya kalau menerkam orang lain…. kasihan
ga kebayang, harimau menerkam dirinya sendiri 😀
hwehehe…. harimaunya di depan cermin Bang
Jadi teringat suatu peristiwa ketika seorang atasan salah berbicara.. akibatnya hampir saja ia meninggal krn diteror karyawan satu departement…. 😦
Apalagi ketika menjadi seorang Pemimpin.. harus lebih hati2….
Maka itu kita sering melihat Pemimpin yang berwibawa jarang sekali berbicara kalo tidak penting….krn setiap patah kata bisa saja jadi bumerang…hehhehe…
Jangan sampai diterkam harimau.. kalo diterkam yg lain boleh la.. 😆
idih…idih……. inginnya diterkam apa ya Lia ini ?
Wah, mbak lia udah mulai serem nih komennya 😆
lahhh kok yang dibahas yang nerkam nya sih pak.. wekekek
mas Is juga nih 😛
Iya bnar skali,”Mulutmu Harimaumu”.
Cma gara2 mulut,orag smpe bunuh2an..
Orang yang terpandang atau “punya nama” biasanya akan lebih berpengaruh perkataannya. Tidak peduli apakah positif atau negatif. Contoh saja para “pemuka agama” yang punya watak picik nan sempit. Dengan satu seruan atau satu teriakan saja, ia bisa membakar massanya untuk berbuat anarki (merusak). Walaupun katanya demi perjuangan 🙂
Hemmmh ini tafsiran yang keren atas hadis “Al Muslim man Salima al Muslim min Lisanihi wa yadihi” (Muslim yang baik adalah seorang muslim yang lisan dan perbuatannya tidak menyakiti [membahayakan] muslim lainnya).
makanya mending berkata-kata lewat blog aja ya pa….minimal sebelum ditulis dipikir-pikir dulu..hehehe